
Bandara ini didirikan dengan cita-cita besar: menggerakkan ekonomi Jember, melakukan percepatan, akselerasi. Ini disebut-sebut sebagai salah satu proyek mercusuar pemerintah daerah pada tahun 2003. Estimasi biaya pembangunan diperkirakan mencapai Rp 50 miliar, dan ditanggung APBD.
Namun, apa yang terakhir hadir di sana? Sudut-sudut bangunan bandara tampak agak tak terawat. Ilalang tumbuh di sekitar bangunan. Tak ada kegiatan layaknya sebuah bandara.
Hari itu, saya hanya menemui komunitas fotografer amatir tengah asyik mengarahkan moncong kamera kedua orang perempuan cantik. Satu berpakaian seksi, yang lain berpakaian ala penerbang. Di siang hari bolong, di tengah landasan pesawat yang terkelupas di beberapa bagian.
Di ujung landasan pacu, dua perempuan kecil berteduh di bawah plastik dekat sepeda kayuh mereka. Di depannya terhampar gabah kering. "Milik tetangga, Pak," kata anak perempuan yang tertua soal gabah yang dijemur itu.
Saya mendadak teringat terminologi Orde Baru dulu soal pembangunan: tinggal landas. Setiap kali penyusunan rencana pembangunan lima tahunan, selalu ada pernyataan bak mantera: pembangunan tinggal landas. Mirip dengan pesawat.
Di Bandara Notohadinegoro ini (sebagian menyebutnya lapangan terbang), tinggal landas menjadi ironi. Siang yang panas, dan tak ada pesawat yang mendarat, sudah beberapa tahun belakangan ini.
Awal 2005, KH Abdurrahman Wahid, presiden keempat Indonesia, pernah mendarat di sini. Ditemani Menteri Perhubungan Hatta Rajasa, dan tentu saja, Bupati Samsul Hadi Siswoyo. Saya masih ingat hari itu. Pesawat jenis Fokker mendarat, dan ratusan rakyat sekitar menonton dengan mata terkagum-kagum. Mereka tak pernah melihat pesawat dari dekat. Petugas kalang-kabut menghalau mereka agar tak mendekat ke landasan. Saat pesawat mendarat dengan sukses, dan para penumpang keluar dari kabin, orang banyak melambaikan tangan.
Semua menebar optimisme. Bandara Notohadinegoro akan segera dibuka. Notohadinegoro diambilkan dari nama bupati pada masa awal berdirinya kabupaten ini. Orang tak perlu lagi menempuh waktu 4-5 jam dari Surabaya melalui jalan raya atau jalur kereta api untuk bisa ke Jember.
Bupati berganti. Pembangunan dilanjutkan, namun semua mulai setengah hati. Dulu Orde Baru selalu bermaklumat: pembangunan berkesinambungan. Kontinyu. Tapi apa yang bersambung tak selamanya pas, karena ada janji kampanye dan persepsi pemerintahan yang berdiri di antara yang lalu dengan yang kini.
Pemerintah daerah yang baru punya hak dan alasan untuk berbeda orientasi. Apapun itu. Apalagi, urusan bandara rasanya tak pernah nyantol dalam janji kampanye politik.
Lagipula ini kan pasar bebas. Tak semua harus diurus oleh negara, apalagi jika itu tak jelas benar untung-buntungnya. Maka, Bupati Muhammad Zainal Abidin Djalal membuka pintu bagi siapa saja untuk mengambilalih pengelolaan bandara.
Namun pasar bebas tak segampang yang disangka. Tak ada investor yang berani masuk dan mengambilalih. Sementara, biaya yang dikeluarkan untuk pembangunan bandara sudah mencapai Rp 20-30 miliar. Tanpa investor, tak ada pesawat yang mendarat, tak ada pemasukan, biaya perawatan menggorogoti APBD Jember setiap tahun. Persis seperti kanker yang merambat di dalam tubuh manusia.
Tahun 2009, Bupati MZA Djalal mencoba melakukan terobosan: selama tiga bulan menyewa pesawat. Bandara dibuka. Namun tak lama, dan yang tersisa kini berkas perkara di meja kantor Kejaksaan. Sewa pesawat itu dinilai menyalahi aturan.
Di Banyuwangi, sekitar 100 kilometer dari Jember, pesawat sudah hilir-mudik di sana. Orang sudah memperkirakan, perekonomian akan melaju di sana. Di Jember, dengan nada putus asa, Ketua Komisi C DPRD Jember Mochammad Asir dan Sekretaris Kabupaten Sugiarto berkata: biarkan saja untuk penjemuran gabah. Ini tempat penjemuran gabah termahal sedunia.
Pengusaha dan akademisi menyayangkan: ah, andaikata pesawat mendarat di sini, tentu forum bursa kerja untuk mahasiswa akan dihadiri lebih banyak perwakilan perusahaan. Ah, andaikata pesawat mendarat di sini, tentu akan lebih banyak pengusaha datang. Aduh, sekarang mereka mendarat di Banyuwangi, dan kita hanya kebagian menjadi tempat mampir. Amboi... andai... ah, jika saja...
Dan, orang pun kehabisan akal. Pembangunan Bandara Notohadinegoro baru separuh jalan. Apa yang harus dilakukan? Ini ibarat pertanyaan telur dan ayam. Jika semua tergantung investasi, kapitalis gila mana yang mau menanamkan uangnya pada sesuatu yang separuh jadi. Jika memang bandara harus diselesaikan, at all cost, siapa yang bisa menjamin investasi akan datang pada masa berikutnya.
Jika kebijakan publik adalah sebentuk perjudian, maka di atas landasan Notohadinegoro yang senyap, kita menggulirkan dadunya. Di antara butiran-butiran gabah di sana (Oryza A. Wirawan, 2011).
Sumber: http://beritajatim.com/detailnews.php/6/Politik_&_Pemerintahan/2011-09-21/112498/Bandara_Notohadinegoro:_Tempat_Jemur_Gabah_Termahal_di_Dunia_
0 komentar:
Posting Komentar